Thursday, August 14, 2008
♥ What Should I Do To Love You?
Alan tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi pada dirinya. Ia jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis itu begitu sederhana, lugu, rambutnya sebahu, dan memiliki kedua bola mata yang indah. Satu telinganya tidak dapat mendengar. Namun bukan itu semua yang membuatnya sakit kepala. Bukan karena cacat yang diderita gadis itu. Ia malah mampu mencintai segala kekurangan itu, apa adanya dengan sepenuh hati. Tapi ia tidak bisa karena gadis i
tu telah dimiliki.
Mereka bertiga awalnya bersahabat. Alan, Nara, dan gadis itu. Alan mengira jalinan pertemanan itu akan terus begitu selayaknya sahabat sejati. Selamanya bertiga. Tapi ia tahu itu mustahil, kedua sahabatnya telah menjalin cinta. Menjadi sepasang kekasih. Ia merasa... dikhianati. Sekaligus sadar, bahwa ia juga memiliki rasa ingin memiliki gadis itu.
"Aku mencintaimu," kata-kata itu pernah dibisikkan oleh Alan kepada gadis itu. Tapi ia tak cukup berani. Kata-kata itu hanya berlalu begitu saja.
"Apaan sih, Lan? Lo tahu kan telinga kiri gue gak bisa denger," ucap gadis itu riang - seperti tidak pernah keberatan dengan kekurangannya.
"Biarin! Anggap aja ini adalah rahasia antara gue dan telinga kiri lo."
Alan mulai menyukai kebiasaan barunya itu. Dan tiap kali ia membisikan telinga tuli itu, rasa penasaran di hati gadis itu kian bertambah.
Sampai suatu saat, ketika ia melakukannya, ia mendapati tubuh gadis itu menegang. "Lan, aku dapat mendengarnya.
"Itu memang keinginan Alan, ia ingin telinga tuli itu mendengarnya sekali saja dan ia
mengucapkannya cukup keras untuk terdengar oleh telinga satunya.
Alan menatap kedua mata gadis itu dan tersenyum. Ia lega karena akhirnya gadis itu tahu perasaannya. Lalu ia merasa adanya dorongan kuat dari dalam hatinya. Bibir mereka pun bertaut. Entah siapa yang memulainya - dan apa yang mereka pikirkan. Tapi itu tidak penting lagi. Mereka berciuman, hangat dan penuh emosi.
Namun tiba-tiba gadis itu menjauhkan tubuhnya.
"Kenapa?" tanya Alan.
Tapi gadis itu malah menangis. "Harusnya gue yang tanya, Lan. Kenapa lo baru mengatak
annya sekarang? Gue juga sayang sama lo. Tapi gue kira, lo cuma nganggep gue hanya sebagai sahabat. Gue putus asa saat lo hanya diam ketika gue jadian sama Nara. Gue udah nunggu kata-kata itu sejak dulu. Dan sekarang lo mengatakan itu saat..." gadis itu menunjukan jari manisnya, "saat gue udah tunangan sama Nara!"
Alan hanya diam. Ia merasa dunianya hilang.
"Lan, gue akan pergi bersama Nara ke Amerika. Kita akan tinggal di sana dan menyembuhkan telingaku."
Kini tubuh Alan yang menegang. Hal terburuk, gadis itu akan pergi selamanya. Justru ia yang ingin menangis. Tapi kini semuanya percuma. Ia tinggalkan gadis itu. Tidak ada lagi yang harus dilakukan. Ia memang lelaki brengsek. "Andai saja gue mengatakan ini dari dulu," teriak batinnya.Ia terus berlalu tanpa pernah mau berbalik. Walau hanya untuk melihat tang
is gadis itu terakhir kalinya.
"Andai saja kedua telinga gue nggak bisa mendengar! Gua nggak perlu mendengar lo ngomong kayak tadi. Gue cuma mau hidup yang sempurna. Bukan untuk menunggu cinta yang gak jelas," samar terdengar teriakan gadis itu. Tangisnya berubah menjadi raung, "Alan, gue benci sama elo!"
Yang paling menyakitkan, kedua hati yang saling mencinta namun terhalang tembok keangkuhan, melahirkan benci.
Dan Alan terus menjauh pergi.
inspired by: Fahrenheit - Bu Hui Ai (+pic source)

Mereka bertiga awalnya bersahabat. Alan, Nara, dan gadis itu. Alan mengira jalinan pertemanan itu akan terus begitu selayaknya sahabat sejati. Selamanya bertiga. Tapi ia tahu itu mustahil, kedua sahabatnya telah menjalin cinta. Menjadi sepasang kekasih. Ia merasa... dikhianati. Sekaligus sadar, bahwa ia juga memiliki rasa ingin memiliki gadis itu.
"Aku mencintaimu," kata-kata itu pernah dibisikkan oleh Alan kepada gadis itu. Tapi ia tak cukup berani. Kata-kata itu hanya berlalu begitu saja.

"Apaan sih, Lan? Lo tahu kan telinga kiri gue gak bisa denger," ucap gadis itu riang - seperti tidak pernah keberatan dengan kekurangannya.
"Biarin! Anggap aja ini adalah rahasia antara gue dan telinga kiri lo."
Alan mulai menyukai kebiasaan barunya itu. Dan tiap kali ia membisikan telinga tuli itu, rasa penasaran di hati gadis itu kian bertambah.
Sampai suatu saat, ketika ia melakukannya, ia mendapati tubuh gadis itu menegang. "Lan, aku dapat mendengarnya.
"Itu memang keinginan Alan, ia ingin telinga tuli itu mendengarnya sekali saja dan ia

Alan menatap kedua mata gadis itu dan tersenyum. Ia lega karena akhirnya gadis itu tahu perasaannya. Lalu ia merasa adanya dorongan kuat dari dalam hatinya. Bibir mereka pun bertaut. Entah siapa yang memulainya - dan apa yang mereka pikirkan. Tapi itu tidak penting lagi. Mereka berciuman, hangat dan penuh emosi.
Namun tiba-tiba gadis itu menjauhkan tubuhnya.
"Kenapa?" tanya Alan.
Tapi gadis itu malah menangis. "Harusnya gue yang tanya, Lan. Kenapa lo baru mengatak

Alan hanya diam. Ia merasa dunianya hilang.
"Lan, gue akan pergi bersama Nara ke Amerika. Kita akan tinggal di sana dan menyembuhkan telingaku."
Kini tubuh Alan yang menegang. Hal terburuk, gadis itu akan pergi selamanya. Justru ia yang ingin menangis. Tapi kini semuanya percuma. Ia tinggalkan gadis itu. Tidak ada lagi yang harus dilakukan. Ia memang lelaki brengsek. "Andai saja gue mengatakan ini dari dulu," teriak batinnya.Ia terus berlalu tanpa pernah mau berbalik. Walau hanya untuk melihat tang

"Andai saja kedua telinga gue nggak bisa mendengar! Gua nggak perlu mendengar lo ngomong kayak tadi. Gue cuma mau hidup yang sempurna. Bukan untuk menunggu cinta yang gak jelas," samar terdengar teriakan gadis itu. Tangisnya berubah menjadi raung, "Alan, gue benci sama elo!"
Yang paling menyakitkan, kedua hati yang saling mencinta namun terhalang tembok keangkuhan, melahirkan benci.
Dan Alan terus menjauh pergi.
inspired by: Fahrenheit - Bu Hui Ai (+pic source)
Labels: friendship, hate, keangkuhan, kiss, sad ending
♥ And did I tell you that I love you tonight
11:13 PM
2
commented
11:13 PM
2 Comments:
wah ada gambar ciumannya
>> anang
kan gue dah 17+
mang termasuk pornografi?
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home